Jumat, 18 Februari 2011

MENELADANI SIFAT KESEDERHANAAN KELUARGA FATIMAH & SAYIDINA ALI

Walaupun Ali adalah putra bungsu Abu Thalib Kepala Bani Hasyim dan salah seorang syekh terkemuka di Makah dengan gemilang harta, tapi semenjak hijrahnya ke Madinah Ali hanyalah seorang buruh pengangkut air dengan ember kulit untuk ditukar dengan kurma.

Tapi Ali cukup percaya diri untuk memenuhi salah satu gairah besar dalam hidupnya yaitu cintanya pada Fatimah putri bungsu Rasulullah dari Khadijah. Fatimah yang sudah dikenal sejak kecil oleh Ali memang beda dengan kakak2 perempunya, Fatimah lebih total dengan ajaran2 agama Islam dan membantu perjuangan beliau sebaliknya dalam urusan keduniawian Fatimah lebih menyapih diri dari harta-harta dunia untuk menaruh perhatian penuh pada akhirat. Dalam hal ini Nabi menyerahkan kepada Fatimah untuk memutuskan, mengingat Abu bakar dan Umar juga pernah menginginkan Fatimah tetapi permintaan tersebut ditolak.

Ali masih belum punya uang untuk dijadikan mahar,belum punya hadiah2 perhiasan yang sudah menjadi kelaziman bagi mempelai wanita atau sekedar biaya perkawinan. Beruntung, Utsman yang seorang pedagang datang membantu dengan menghargai baju besi hasil rampasan dari perang Badar dengan harga yang tinggi, Utsman bersikeras membelinya seharga 500 dirham, Cukup untuk mahar dan biaya pernikahan yang sangat sederhana.Perkawinan diselenggarakan oleh Nabi sendiri, Pada saat itu beliau memberikan kado yang paling berharga, do'a dan dzikir.

Pada tahun2 awal pernikahan, mereka hanya sedikit memiliki bekal. Ali tetap bekerja sebagai buruh dan Fatimah menggiling gandum dengan gilingan batu untuk dijual kepada tetangga lain. Fatimah yang masa kecilnya di Makah pasti penuh dengan kenyamanan sebagai keluarga Quraisy yang kaya, kini tidur dengan pundak yang memar dan tangannya bengkak karena kerja keras seharian menopang penghasilan suami. bahkan selimutpun tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuh mereka berdua. Walaupun begitu kemesraan tetap terjaga, limpahan kasih sayang tidak pernah memudar dari diri Ali sebagai seorang suamu maupun Fatimah sebagai istri, setiap pagi ketika hendak beranjak meninggalkan rumah untuk bekerja tak lupa Ali mencium kening Fatimah dengan penuh kasih sayang begitu pula Fatimah membalasnya dengan mencium tangan Ali sebagai penghormatan.

Beberapa tahun kemudian Setelah memenangkan pengepungan atas benteng Bani Qainuqa maupun penghacuran Bani Quraidhah baru kehidupan keluarga Ali mulai mebaik dengan memiliki kebun-kebun dan pohon-pohon kurma sendiri dan Fatimah memperoleh seorang gadis pelayan untuk membantu pekerjaanya mengasuh Hasan yang sudah berumur 2 tahun dan Husain yang baru berumur satu tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar